HUKUM Aqiqah dalam tinjauan Syar'i

HUKUM Aqiqah dalam tinjauan Syar'i
HUKUM Aqiqah dalam tinjauan Syar'i
Aqiqah
Menurut Tinjauan Syar’i
Oleh; Faiz Ibrahim
Definisi Aqiqah
Aqiqah adalah kambing yang disembelih untuk untuk bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya.[1] Sedangkan di dalam kitab Mausu’ah al-Fiqh al-Islami dijelaskan bahwa aqiqah adalah hewan yang disembelih untuk kelahiran seorang anak. Dalam definisi lain aqiqah adalah jamuan makanan yang dihidangkan oleh para ayah karena lahirnya seorang anak.[2]
Al Azhari berkata dalam kitab “Attahdhib”: Abu Ubaid dan Al asma’i serta yang lainnya berkata, "Kata Aqiqah asli artinya adalah rambut yang ada di kepala seorang anak ketika di lahirkan dan ia juga dinamakan syaat (kambing) yang di sembelih ketika waktu  aqiqah, karena rambut yang dicukur pada waktu dzabh (menyembelih ) itulah yang dinamakan aqiqah.
   Abu Ubaid berkata, "Diantara makna aqiqah yang lain adalah setiap yang dilahirkan dari binatang, sedang rambut yang ada di kepala pada waktu dilahirkan disebut aqiqah."
            Al Azhari berkata, "Makna dari kata  العق  adalah    الشاة  yang mempunyai arti pecah, sedang rambut yang menempel pada kepala seorang anak itulah yang dinamakan aqiqah karena ia dicukur dan di potong ( pada waktu aqiqah )."[3] 

Hukum Aqiqah

            Menurut Mazhab Dzahiri aqiqah hukumnya wajib, sedangkan menurut Abu Hanifah aqiqah hukumnya bukan fardhu dan bukan sunnah, melainkan hukumnya tathawu’.[4] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi menjelaskan bahwa aqiqah hukumnya sunnah mu’akadah bagi orang tua yang mampu melakukannya,[5] karena Rosulullah bersabda,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Aqiqah disembelih untuknya pada hari ketujuh, ia dinamai dan rambutnya digundul (pada hari ketujuh tersebut).” (H.R. Abu Daud dan An-Nasa’I)
Di dalam kitab Lajnah Daimah juga dijelaskan bahwa aqiqah hukumnya sunnah mu’akadah dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan kambing dan disembelih pada hari yang ketujuh,[6] hal ini sebagaimana pendapat jumhur Ulama.[7]

Aqiqah di Zaman Jahiliyah

            Diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah yang telah mengatakan bahwa ia mendengar ayahnya menceritakan hal berikut, “Dahulu pada masa jahiliyah apabila bayi seseorang di antara kami baru dilahirkan, kami menyembelih kambing dan melumurkan darah kambing itu ke kepala bayinya. Setelah Allah menurunkan agama islam, maka kami diperintahkan untuk menyembelih kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan minyak za’faran.”
Makna Setiap Anak Tergadaikan Dengan Aqiqahnya
Imam Ahmad berkata, “Anak tersebut tertahan dari memberi syafa’at untuk kedua orang tuanya.” Sedangkan Ar-Rahn menurut bahasa adalah tertahan sebagaimana firman Allah ta’ala:
كُلّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
          “Tiap-tiap diri bertanggung jawab, atas apa yang telah diperbuatnya.” (Q.S. Al-Mudatsir: 3)
          Secara dzahir hadist ‘Rohinah’ bermakna terhalangi untuk berbuat kebaikan yang dikehendakinya, namun hal itu tidak menjadikannya kelak diadzab di akhirat. Jika seorang anak terhalangi untuk berbuat kebaikan karena kedua orang tuanya tidak melaksanakan aqiqahnya, maka berarti dia telah kehilangan kebaikan disebabkan oleh kelalaian kedua orang tuanya sebagaimana hubungan jima’ tatkala sang ayah membaca tasmiyah, maka setan tidak bisa berbuat kemudharatan kepada anaknya, akan tetapi jika tidak membacanya niscaya penjagaan tersebut tidak bisa di dapat. Dengan demikian ini menunjukkan bahwa aqiqah lazim untuk dilaksanakan dan sebuah keharusan, sebagaimana pendapat Al-Laits bin Sa’ad Al-Hasan Al-Basri dan Ahlu Dhahir.[8]

Hikmah Aqiqah

            Aqiqah disyareatkan memiliki hikmah diantaranya ialah sebagai bentuk syukur seorang ayah kepada Allah ta’ala atas nikmat anak dan merupakan wasilah untuk Allah ta’ala dalam menjaga dan mengasuhnya.[9]
            Di antara faedah aqiqah yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam bukunya yang berjudul “Tuhfatul Maudud” bahwa aqiqah sama halnya dengan berkurban untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, melatih diri untuk bersikap pemurah, dan mengalahkan kekikiran yang ada dalam diri manusia. Memberikan jamuan makanan adalah sebuah bentuk amal pendekatan diri kepada Allah dan aqiqah adalah membebaskan bayi dari rintangan yang menghambatnya untuk dapat memberi syafaat kepada kedua orang tuanya atau dari halangan untuk beroleh syafa’at dari kedua orang tuanya.[10]
Syarat Hewan Aqiqah
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menjelaskan hewan aqiqah hendaknya selamat dari cacat, sebagaimana hal tersebut berlaku untuk hewan yang dijadikan kurban. Karena hukum aqiqah sama seperti hukum udhiyah dalam masalah umurnya, begitu juga hal-hal yang menghalangi sahnya hewan kurban juga berlaku dalam aqiqah dan dianjurkan untuk memilih sifat hewan aqiqah yang telah disunnahkan. Imam At-Tha’ berkata, “Hewan jantan lebih saya senangi dari pada betina."[11] Hal ini senada dengan perkataan jumhur ulama yang mengatakan bahwa tidak boleh menyembelih hewan aqiqah kecuali dengan hewan yang diperbolehkan dalam udhiyah.[12] Adapun ketentuan kambing aqiqah sama seperti ketentuan yang berlaku pada hewan kurban.
·         Hewan udhiyah atau Aqiqah yang disunnakan
Disunnahkan udhiyah atau aqiqah dengan domba yang gemuk, bertanduk dan jantan. Ini merupakan kesepakatan ulama fikih.
·         Hewan udhiyah atau aqiqah yang dilarang hukumnya
Dilarang udhiyah atau aqiqah dengan hewan yang buta sebelah, hewan yang sakit, hewan yang pincang serta hewan yang kurus. Ini merupakan kesepakatan ulama fikih. Berhujah dengan sabda Nabi saw,
أَرْبَعٌ لاَ تَجُوْزُ فِي اْلأَضَاحِي اْلعَوْرَاءُ اْلبَيِّنُ عَوْرَهَا وَاْلمَرِيْضَةُ اْلبَيِّنُ مَرَضَهَا وَاْلعَرْجَاءُ اْلبَيِّنُ
 ضَلْعُهَا وَاْلكَسِيْرُ أَوْ اْلعَجَقَاءُ الَّتِي لاَ تُنْقَى
  "Empat jenis hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, hewan yang buta sebelah yang jelas butanya, hewan yang sakit jelas sakitnya, hewan yang pincang yang jelas pincangnya dan hewan yang kurus yang hilang sungsumnya."(H.R.Al-Khomsah, Ahmad dan Ashabu sunnan dan dishahihkan oleh Tirmidzi)
·         Hewan udhiyah atau aqiqah yang hukumnya makruh
Makruh hukumnya udhiyah atau aqiqah dengan hewan yang kupingnya terbelah, robek, dan yang terpotong. Begitu juga hewan yang diambil bulunya sebelum dipotong, hewan yang matanya juling atau giginya sudah copot karena umurnya sudah tua dan hewan yang berkudis yang banyak kudisnya.[13]

Para Ulama Mazahib telah sepakat bahwa tidak sah berkurban dengan hewan yang buta sebelah mata, pincang, hewan yang sakit serta hewan yang kurus yang sungsumnya telah hilang. Sedangkan mereka berselisih mengenai hewan yang pecah tanduknya dan terbelah telinganya.[14]Jumhur Ulama berpendapat, jika cacat fisik yang terdapat pada hewan kurban sangat parah, maka hal itu menghalangi ke-sah-an hewan kurban.[15]
Imam Abu Hanifah, Syafi'I dan jumhur ulama berpendapat bahwa sah hukumnya berkurban dengan hewan yang pecah tanduknya secara mutlak sedangkan Imam Malik memakruhkannya.[16]

Jumlah Hewan Aqiqah

Para Fuqaha’ berbeda pendapat mengenai jumlah hewan aqiqah adalah sebagai berikut:
-          Imam Malik berkata, "Aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan satu kambing satu kambing"
-         Menurut Imam Syafii, Abu Tsaur, Abu Daud dan Imam Ahmad mereka berpendapat bahwa aqiqah untuk anak perempuan satu kambing dan untuk anak laki-laki dua kambing.

Waktu Pelaksanaan Aqiqah

o   .Jumhur Ulama berpendapat bahwa waktunya adalah hari ketujuh dari kelahiran seorang anak.[17]
o   Di dalam kitab Lajnah Daimah dijelaskan bahwa Aqiqah hukumnya sunnah mu’akadah dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan dan disembelih pada hari yang ketujuh. Jika mengakhirkan pelaksanaan dari hari ketujuh, maka boleh menyembelih pada setiap waktu, dan tidak berdosa mengakhirkan pelaksanaannya namun yang afdhol untuk menyegerakannya.[18]
o   Menurut AS-Sayyid Sabiq, aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran seorang anak, jika pada hari tersebut mempunyai kelapangan untuk melaksanakannya. Jika tidak bisa, maka dilaksanakan pada hari ke empat belas atau hari ke dua puluh satu. Demikian juga, jika belum bisa melaksanakannya pada hari-hari tersebut, maka bisa dilaksanakan kapanpun pada hari-hari setelahnya, sesuai dengan hadist Imam Al-Baihaqi,[19]
تذبح لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين
            "Hewan Aqiqah disembelih pada hari ketujuh, atau hari keempat belas, atau hari kedua puluh satu." ( H.R. Al-Baihaqi) Hadist ini telah dishahihkan oleh Muhammad Nashirudin Al- Albani, lihat hadist no.4132 di dalam shahihul jami'.[20]
o   Imam Malik berkata, “Telah dikisahkan dari Ibnu Wahab bahwa beliau pernah berkata, "Jika tidak dilaksanakan pada hari ketujuh yang awal dan yang kedua, maka Imam Thimidzi telah menukil perkataan Ahlu Ilmi bahwa mereka menganjurkan untuk melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh, jika tidak mungkin untuk dilaksanakan pada hari tersebut, maka pada hari keempat belas, jika tidak mungkin lagi, maka pada hari keduapuluh satu. Sedangkan hujah yang memperkuat pendapat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw  beliau bersabda,
الْعَقِيقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَلِأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَلِإِحْدَى وَعِشْرِينَ
“Aqiqah disembelih pada hari ketujuh, keempat belas dan kedua puluh satu.” (H.R. Al-Baihaqi)[21] Hadist ini telah dishahihkan oleh Muhammad Nashirudin Al- Albani, lihat hadist no.4132 di dalam shahihul jami'.[22]
o   Al-Albani berkomentar di dalam Silsilah asshahih, tentang hadist,
" عق عن نفسه بعدما بعث نبيا " .
            "Adalah Nabi r mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diutus menjadi seorang nabi."
Beliau berkata, "Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani kadang kala menguatkan hadist ini dan pada lain waktu melemahkannya. Dan telah dinukil didalam "al fath"; 9/594-595 dari Imam Ar-Rafi'I bahwa hendaknya aqiqah tidak diakhirkan hingga usia baligh, jika telah baligh, maka telah gugur kewajiban orang yang mengaqiqahinya, akan tetapi jika anak tersebut mau melaksanakan aqiqah untuk dirinya sendiri maka silahkan melaksanakannya. Sebagian salaf banyak yang mengamalkan pendapat ini, dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah di dalam Musannaf 8/235-236 dari Muhammad Sirin beliau berkata, "Jika aku mengetahui bahwa dia (bapakku) belum mengaqiqahi saya, niscaya saya akan melaksanakan aqiqah untuk diri saya sendiri dan isnadnya shahih. Ibnu Hazm menyebutkan di dalam Al Muhalla 8/322 dari jalur Ar-Rabi' bin shobih dari Hasan Al-Basri beliau berkata, "Jika kamu belum diaqiqahi, maka aqiqahilah dirimu jika kamu laki-laki." Isnad ini Hasan.[23]
o   Abu Isa berkata, "Kalangan Ahlu ilmu menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh, apabila belum siap untuk melasanakannya maka pada hari ke empat belas, jika belum juga maka pada hari ke dua puluh satu."[24]
o   Imam Syafii berkata, “Maksudnya aqiqah tidak diakhirkan dari hari ketujuh sebagai bentuk ikhtiyar, jika mengakhirkan sampai anak tersebut baligh, maka hukum aqiqah gugur dari pihak yang mengaqiqahi, akan tetapi jika ingin mengaqiqahi dirinya sendiri maka hukumnya boleh.[25]
o   Sedangkan mazhab Hambali dan jama’ah ahli fikih berpendapat bahwa tetap dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah meskipun sudah berlalu satu bulan atau satu tahun atau lebih dari hari kelahiran sang bayi yaitu dengan mengambil keumuman hadist, yang diriwayatkan Baihaqi dari Anas ra  bahwa Nabi saw melaksanakan aqiqah untuk dirinya setelah bi’tsah.[26] Yaitu;

أن النبي عق عن نفسه بعد البعثة

”Bahwasahnya Nabi e beraqiqah untuk dirinya sendiri setelah ia diutusnya menjadi Nabi”  (HR Al Baihaqi )[27]
o    Sedangkan untuk bayi yang berumur satu tahun setengah kemudian meninggal dan belum sempat di aqiqahi, maka mengakhirkan pelaksanaan aqiqah hukumnya sah, namum hal ini menyelisihi waktu yang disunnahkan.[28]
o   Dalam madzhab Hambali disebutkan bahwa hak seorang ayah agar berusaha mengaqiqahi sang anak meskipun dalam kondisi sempit, sehingga dibolehkan baginya untuk berhutang terlebih dahulu –jika tidak memberatkan baginya untuk melunasinya-demi melaksakanan sunnah. Begitu pula pendapat Imam Ahmad. Akan tetapi menurut madzhab Syafi'iyah bahwa aqiqah dilaksanakan jika dalam kondisi lapang.[29]

Hal-hal Yang Disunnahkan Pada Hari Ketujuh

-          Anak laki-laki disunnahkan diaqiqahi dengan dua kambing, karena Rosulullah saw menyembelih dua kambing untuk Hasan. ( H.R. At-Thirmidzi)
-          Pembagian Aqiqah disunnahkan dibagi seperti daging hewan udhiyah, tuan rumah memakan sebagiannya, bersedekah dengan sebagain darinya, dan menghadiahkan sebagian yang lain.
-          Disunnahkan bayi pada hari ketujuh dari kelahiran diberi nama dengan nama yang paling baik. [30] Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Diantara keindahan ialah memberi nama yang baik bagi anak dan tidak memberinya nama yang mengandung nama buruk.[31] Rasulullah bersabda,
أَحَبَّ اْلأَسْمَاءِ إِلَى الله عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمنِ وَأَصْدَقُهَا حَارِثٌ وَهَمَامٌ وَأَقْبَحُهَا حَرْبٌ وَمُرَةٌ
“Nama yang paling disukai Allah ta’ala adalah Abdullah dan Abdurahman dan nama yang paling baik adalah Harist dan Hamman, sedang nama yang paling buruk adalah harb (perang) dan muroh (pahit).” (H.R.Abu Daud)                                
-     Mencukur rambut bayi, membersihkan dan menghilangkan kotoran. Islam mensyareatkan untuk mencukur rambut bayi pada hari ketujuh sesudah kelahirannya untuk menunjukkan perhatian islam kepada bayi dan melenyapkan kotoran yang mengganggunya. Bahkan islam mengajurkan agar dikeluarkan shadaqah darinya sesuai dengan timbang rambutnya baik berupa emas maupun perak.[32] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi menjelaskan pada hari itu rambutnya digundul kemudian bersedekah dengan emas dan perak, atau uang seberat rambutnya.[33]
-     Tidak sah satu aqiqah untuk dua orang atau lebih, akan tetapi harus sendiri-sendiri. Karena Rosulullah saw bersabda,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Aqiqah disembelih untuknya pada hari ketujuh, ia dinamai dan rambutnya digundul (pada hari ketujuh tersebut).” (H.R. Abu Daud dan An-Nasa’I)
-          Adapun do'a  yang di baca ketika menyembelih hewan aqiqah adalah:
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwasanya nabi r meng-aqiqahi Hasan dan Husein dan beliau bersabda, "Ucapkanlah:
ِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ لَكَ وَإِلَيْكَ عَقِيْقَةَ فُلاَن
"Dengan nama Allah, ya Allah untuk-Mu dan bagi-Mu aqiqah fulan." (HR. Al-Baihaqi dengan sanad hasan)[34]
-          Boleh memberi nama sebelum hari ketujuh. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih bahwa nabi saw memberi nama anaknya Ibrahim dan Abdullah bin Thalhah Al-Anshari pada hari kelahirannya.[35].
At-Tahni'ah (ucapan selamat)
          Tahni'ah bagi saudara kita yang mendapatkan kelahiran seorang bayi adalah:
بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي اْلَموْهِبِ لَكَ وَشَكَرْتَ اْلوَاهِبَ  وَبَلَغَ أَشُدَّهُ وَرُزِقْتَ بَرَّهُ
"Semoga Allah memberkahimu atas pemberiannya kepadamu, engkau layak bersyukur, (semoga) anakmu cepat dewasa dan engkau diberi rizki berupa baktinya kepadamu"
Adapun bagi yang diberi ucapan selamat, ia menjawabnya dengan mengucapkan:
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَزَاكَ اللهُ خَيْراً وَرَزَقَكَ اللهُ مِثْلَهُ وَأَجْزَلَ ثَوَابَكَ
"Semoga Allah memberkahimu dan membalasmu dengan kebaikan dan engkau di beri seperti itu dan balasanmu dilipatgandakan"[36]

Adakah Aqiqah Untuk bayi Yang Meninggal Sebelum Hari Ketujuh?

ü  Sedangkan anak bayi yang meninggal sebelum hari ke tujuh, maka hendaknya anak tersebut tetap diaqiqahi pada hari ke tujuh. Kematiannya sebelum hari ketujuh tidak menjadi penghalang untuk pelaksanaan aqiqah. Karena kami tidak mengetahui adanya dalil yang yang menunjukkan tentang gugurnya kewajiban aqiqah, jika bayi meninggal sebelum hari ketujuh. Akan tetapi dalil-dalil yang ada bersifat umum yang menunjukkan bahwa aqiqah disyareatkan ketika adanya kelahiran seorang bayi dan kami tidak mengetahui adanya dalil yang merubah keumuman ini. Disyareatkan aqiqah pada hari ketujuh ini tidak berarti tidak boleh aqiqah pada hari selainnya. Namun kelahiran seorang bayi menjadi penyebab adanya aqiqah. Adapun hari ketujuh merupakan waktu yang afdhol untuk pelaksanaan syareat ini. Maka dari itu jika pelaksanaannya sebelum hari ketujuh, maka aqiqah tetap dianggap sah sebagaimana keterangan Ibnu Qoyim dan yang sepakat dengannya dari kalangan ahlu ilmi.[37]
ü  Tidak ada aqiqah untuk anak yang keguguran, jika ruh belum ditiupkan pada dirinya, meskipun ada keterangan bahwa bayi tersebut laki-laki atau perempuan, karena bayi tersebut belum berwujud bayi yang dilahirkan. Sedangkan jika yang lahir janin yang hidup kemudian meninggal sebelum hari ketujuh, maka tetap disunnahkan untuk melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh dan memberinya nama. Jika sudah berlalu hari ketujuh dan belum diaqiqahi, maka menurut sebagian ulama fikih berpendapat tidak wajib untuk diaqiqahi setelahnya, karena Nabi saw membatasi waktunya pada hari ketujuh. [38]

LARANGAN MENGHANCURKAN TULANG AQIQOH

Beberapa perkara yang perlu diperhatikan dalam aqiqoh adalah tidak menghancurkan tulang sembelihan sedikitpun, setiap tulang dipotong pada persendiannya tanpa menghancurkannya.
Abu Daud dalam marosilnya mengatakan bahwa Rasulullah saw  bersabda :

أن بعثوا إ لى المقابلة منها برجل وكلوا واطعموا ولاتكسروا منها

 “Berilah sepotong kaki dari aqiqah itu kepada suku anu, makanlah dan berilah makan, dan jangan menghancurkan tulang darinya ( aqiqoh )."
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Atho’ “Anggota-anggota badan sembelihan dipotong dan tidak dihancurkan menjadi kecil- kecil .
   Adapun hikmah dalam masalah ini adalah :
1)      1. Menampakkan kemuliaan memberikan makan kepada para tetangga, yaitu dengan memberikan potongan- potongan secara sempurna dan   berukuran besar, yang tulangnya belum dipecahkan dan belum dikurangi dari anggota badannya .
2)      Sebagai harapan akan keselematan dan kesehatan akan tubuh anak yang dilahirkan, karena aqiqah simbol dari pengorbanan yang dikeluarkan bagi anak yang dilahirkan.[39]  
Namun di dalam Shahih Fiqh Sunnah disebutkan bahwa tidak benar pendapat akan larangan menghancurkan tulang hewan aqiqah dan tidak ada dalil yang menunjukkan  makruhnya hal tersebut.[40]Begitu pula menurut Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz dalam majmu' fatawanya.
Ibnu Hazm berkata, "Hadits tentang larangan ini adalah Mursal, sedangkan hadits Mursal tidak bisa dijadikan hujjah."[41]

Wallahua'lam bis Showab

Referensi:

1. Minhajul Muslim: 286
2. Mausu’ah al-fiqh al-Islami: 1:19
3. Majmu’ Syarhul Muhadzab  8/320
4. Bidayatul Mujtahid: 1/373
5. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah wal Ifta’: 14/13
6. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, 3/639
7. Majmu Fatawa Syaikh Abdul Azis bin Abdullah Bin Bazz 11/48-49,
8. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram 4/235
9. Al-Adzkar Imam Nawawi 413,
10.Hisnul Muslim terj. 129
11. Tarbiyatul Aulad : 1 /92
12. Shahih Fiqh Sunnah, 2/384
13.As-Salsabil Fi Ma'rifati ad-Dalil 2/310
14. Manarus Sabil
15. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Tahdzibut Tahdzib
16. Subulus Salam IV/181
17. Atfalul Muslimin terjmh: 84
18. Nailur Author
19. Zadul MA'ad
20. Al-Mughni



[1]. Minhajul Muslim: 286
[2]. Mausu’ah al-fiqh al-Islami: 1:19
[3] Al Majmu’ Syarhul Muhadzab  8/320
[4]. Bidayatul Mujtahid: 1/373
[5]. Minhajul Muslim: 286
[6]. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah wal Ifta’: 14/13
[7] .Bidayatul Mujtahid: 1/373
[8]. Zadul Ma’ad
[9]. Minhajul Muslim: 286
[10]. Atfalul Muslimin terjmh: 84
[11] .Al-Mughni 22, 10
[12]. Bidayatul Mutahid: 1/373
[13]. Fiqh Islami wa Adilatuha: 3/617-624
[14]. Majmu' Syarhul Muhadzab: 8/297
[15]. Bidayatul Mujtahid: 4/77
[16]. Nailul Author: 5/205
[17]. Bidayatul Mutahid: 1/373
[18]. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah Wal Ifta’: 14/13
[19]. Fiqh Sunnah: 328
[20].Shahih wa dhoif sunan At-Thirmidzi: 16/228
[21]. Nailul Authar: 156
[22].Shahih wa dhoif sunan At-Thirmidzi: 16/228
[23]. Al Silsilah As -Shahihah: 6/225
[24] . Shahih wa Dhoif Sunan At-Thirmidzi: 4/22
[25]. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah Wal Ifta’: 8/156, Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Maktabah At-Tauqifuiyah, II/383
[26]. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah Wal Ifta’: 14/26
[27]. Bidayatul Mujtahid 1/339
[28]. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah Wal Ifta’: 14/27
[29]. Shahih Fiqh Sunnah, 2/382
[30]. Minhajul Muslim: 287
[31]. Atfalul Muslimin terjmh: 89
[32]. Atfalul Muslimin terjmh: 84
[33]. Minhajul Muslim: 287
[34] Fiqh Islam Wa Adillatuhu, 3/639
[35] Majmu Fatawa Syaikh Abdul Azis bin Abdullah Bin Bazz 11/48-49, Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram 4/235
[36] Al-Adzkar Imam Nawawi 413, Hisnul Muslim terj. 129
[37]. Lajnah Daimah:14/24
[38]. Lajnah Daimah: 14/26
[39] Tarbiyatul Aulad : 1 /92
[40] Shahih Fiqh Sunnah, 2/384
[41] As-Salsabil Fi Ma'rifati ad-Dalil 2/310
loading...
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Related Post:

Back To Top