Definisi Laqiith (Anak
Temuan)
Menurut
bahasa: Laqiithh (temuan) adalah sesuatu yang ditemukan yaitu yang diangkat
dari permukaan bumi, yaitu dari kata fa`iil yang berarti maf`ul (objek)
seperti qotiil (orang yang dibunuh) jariih (orang yang terluka), dan
anak yang terbuang ditemukan orang dia adalah Laqiithh menurut orang Arab.
Dan orang yang mengambil anak atau sesuatu yang jatuh dinamakan multaqith.[1]
Dalam
kitab “Nihayatul Muhtaj” dalam fiqih Syafi`iyah: Laqiithh secara
syara` adalah anak kecil yang dibuang di
jalan dan tidak ada yang mengakuinya.[2]
Dalam
“al-Mughni al-Muhtaj” dalam fiqih Syafi’iyah juga: Anak temuan yang
kecil yang dibuang di jalan atau masjid atau yang semisalnya, yang penanggungnya
tidak diketahui walaupun mumayiz (sudah berakal) karena hajatnya untuk
kasih sayang.
Dan
dalam “al-Mabsut” milik Imam as-Syarkhosi daalam fiqih Hanafiyah: Laqiithh
dalam syariah adalah nama bagi anak yang dibuang keluarganya karena takut dari
kemiskinan atau lari karena hasil zina. (Al Mabsut, 10/309)
Dalam
“Kasyaf al-Qona`” dalam fiqih Hanabilah: Laqiithh adalah anak
kecil yang tidak diketahui nasabnya dan tidak diketahui keluarganya dibuang di
jalan atau di pintu masjid dan semisalnya, atau tersesat yaitu antara kelahirannya
sampai mumayiz, dan juga dikatakan Laqiithh sampai baligh. (Kasyaf
al-Qoha`, 3/431)
Di
dalam “Syarhi Shoghir” milik Durdir dalam fiqih Malikiyah: Ibn Arfah al-Maliki
mendefinisikan: Anak temuan kecil Adam, tidak diketahui bapaknya dan
keluarganya.
Dan definisi yang rojih
(kuat) adalah ta`rif (pengertian) menurut Hanabilah.
Umur Laqiithh (Anak
Temuan)
Anak
temuan umurnya mungkin baru lahir dan mungkin masih kecil belum mumayiz (berakal)
atau mumayiz yang belum baligh. Seperti halnya anak temuan mungkin
dibuang oleh keluarganya karena sebab sesuatu karena lari dari perbuatan zina,
seperti mungkin karena hilang dari keluargnya karena tersesat di jalan untuk
menuju mereka maka mustahab (disukai) untuk mengambilnya dan menemukannya,
akan tetapi kebanyakan anak temuan adalah yang baru lahir atau anak kecil yang
belum mumayiz.
Definisi Mukhtar (Yang
Terpilih)
Berdasarkan
tarjih dari ta`rif-ta`rif di atas kita bisa mendefinisikan bahwa Laqiithhh
(anak temuan) adalah: Anak yang baru lahir yang dibuang keluarganya, atau anak
kecil yang belum baligh yang dibuang keluarganya atau hilang dari mereka, baik
laki-laki atau perempuan.
Status Anak Temuan Adalah
Merdeka Sampai Ditetapkan Kebalikannya
Pada
dasarnya anak temuan adalah merdeka baik laki-laki atau perempuan, ini adalah
diriwayatkan dari Umar dan Ali, telah diriwayatkan dari keduanya bahwasanya
keduanya menghukumi anak temuan adalah merdeka. Karena pada dasarnya dia itu
merdeka dan termasuk Bani Adam. Karena manusia semua adalah anak cucu Adam alaihis
salam dan Hawa dan keduanya adalah merdeka, dan orang yang lahir dari orang
merdeka adalah merdeka. Adapun terjadi perbudakan bagi yang menentang, maka
wajib beramal dengan aslinya yaitu merdeka dan keadaan anak temuan adalah
merdeka, sampai ada ketetapan sebaliknya yaitu bahwa dia budak.
Oleh
karena itu kalau multaqithh (orang yang memungut) mengklaim bahwa anak
temuan itu tidak merdeka akan tetapi dia adalah budaknya, itu tidak benar
setelah diketahui bahwa dia adalah anak temuan, karena dia dihukumi merdeka
menurut dhohirnya, dan karena aslinya adalah merdeka sampai ditetapkan
kebalikanya, maka tidak bisa dibatalkan dengan perkataan multaqith saja,
dan karena kedudukan multaqith adalah sebagai penjaganya atau
pelindungnya, maka tidak mungkin berubah kedudukanya menjadi pemilik hanya
dengan perkataannya saja tanpa ada hujjah.
Hukum Memungut Laqiith
(Anak Temuan)
Hanafiyah
berpendapat, bahwa mengambil anak temuan adalah perkara yang mandub (dianjurkan)
karena termasuk menghidupkan jiwa laqiith (anak temuan). Jika dia
mengira kalau tidak mengambilnya maka akan menyusahkannya dan mencelakakannya maka
mengambilnya menjadi wajib.[3] (al-Mufasshol,
9/418)
Jumhur
fuqoha` berpendapat, bahwa memungut anak temuan adalah wajib berdasarkan firman
Allah ta`la: "Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan
ketaqwaan". Dan karena memungutnya adalah menghidupkan jiwa laqiith
maka menjadi wajib, dan karena laqiith adalah anak cucu Adam yang
terhormat, maka memeliharanya, memberi makan kepadanya itu menjadi wajib
seperti wajibnya menyelamatkannya dari tenggelam karena itu adalah menahan
kecelakaan darinya. Dan wajibnya adalah wajib kifayah. (al-mufasshol,9/418)[4]
Syarat-Syarat Multaqith
(Orang Yang Memungut)
Syarat-syarat multaqith
adalah sebagai berikut:
- Muslim.
- Baligh.
- Aqil
(berakal).
- Adil,
dan
- Amanah.
Apa Yang Harus Dikerjakan
Oleh Multaqith
Disunahkan
bagi multaqith hendaknya mengabarkan kepada Imam (pemimpin) dengan
penemuannya, karena pengkabaran ini adalah wasilah untuk medapat nafaqohnya
dari Baitul Mal.
Multaqith
Itu Lebih Berhak Terhadap Anak Temuannya
Multaqith
yang telah memenuhi syarat-syarat yang diminta untuk menetapkan laqiith
berada dalam kekuasaannya, multaqith ini lebih berhak untuk memegang laqiith
dari pada yang lainnya dan terus berada di tangannya dan pemeliharaannya.[5] Berdasarkan
sabda Nabi saw:
من سبق الى ما لم يسبق إليه
مسلم فهو أحق
Artinya: “Barangsiapa
yang dahulu sampai tidak ada yang mendahuluinya dari seorang muslim maka dia
yang berhak”.[6]
Hukum Mengadobsi Anak
Oleh al-Lajnah ad-Daimah
Lil Buhuts al-Ilmiah Wal Ifta
Alhamdulillah, segala puji
bagi Allah, shalawat dan salam bagi Rasul-Nya, keluarga beliau serta
sahabatnya, wa ba’du.
Komite Tetap Untuk Riset
Ilmiah dan Fatwa telah membaca pertanyaan dari sekertaris pelaksana Dewan Punjab
untuk Kesejahteraan Anak, yang ditujukan kepada Ketua Bagian Riset Ilmiah,
Fatwa dan Dakwah, yang dilimpahkan kepadanya dari Sekertaris Jenderal Majlis
Ulama Besar no. 86/2 tanggal 15/1/1392H, yang isinya meminta penjelasan lebih
jauh tentang aturan serta kaidah-kaidah berkenaan dengan hak anak adopsi dalam
masalah waris?
Jawaban
Pertama,
Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah sebelum ada risalah Nabi
Muhammad Shallallahu‘alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan
kepada ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan anak serta
istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara
umum anak adopsi layaknya anak kandung dalam segala urusan. Nabi pernah
mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil al-Kalbi sebelum beliau menjadi
Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut
dari zaman Jahiliyah hingga tahun ketiga atau keempat Hijriyah.
Kedua,
Kemudian Allah memerintahkan anak-anak adopsi untuk dinasabkan ke bapak mereka
(yang sebenarnya) bila diketahui, tetapi jika tidak diketahui siapa bapak yang
asli, maka mereka sebagai saudara seagama dan loyalitas mereka bagi pengadopsi
juga orang lain. Allah mengharamkan anak adopsi dinasabkan kepada pengadopsi
(ayah angkat) secara hakiki, bahkan anak-anak juga dilarang bernasab kepada
selain bapak mereka yang asli, kecuali sudah terlanjur salah dalam pengucapan.
Allah mengungkapkan hukum tersebut sebagai bentuk keadilan yang mengandung
kejujuran dalam perkataan, serta menjaga nasab dari keharmonisan, juga menjaga
hak harta bagi orang yang berhak memilikinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
Artinya:
“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka, itulah yang lebih baik dan
adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[Al-Ahzab : 4-5]
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang disebut bukan kepada
bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang
berkelanjutan” [Hadits Riwayat Abu Daud]
Ketiga,
Dengan keputusan Allah yang membatalkan hukum adopsi anak (yaitu pengakuan anak
yang tidak sebenarnya alias bukan anak kandung) dengan keputusan itu pula Allah
membatalkan tradisi yang berlaku sejak zaman Jahiliyah hingga awal Islam
berupa.
[1].
Membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah angkat) dan
anak adopsi (anak angkat) yang tidak mempunyai hubungan sama sekali. Dengan
kewajiban berbuat baik antara keduanya serta berbuat baik terhadap wasiat yang
ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat) pengadopsi selama tidak lebih dari
sepertiga bagian dari hartanya. Hukum waris serta golongan yang berhak
menerimanya telah dijelaskan secara terperinci dalam syari’at Islam. Dalam
rincian tersebut tidak disebutkan adanya hak waris di antara keduanya.
Dijelaskan pula secara global perintah berbuat baik dan sikap ma’ruf dalam
bertindak. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Artinya:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris mewarisi) didalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu
(seagama).” [Al-Ahzab: 6]
[2].
Allah membolehkan pengadopsi (ayah angkat) nikah dengan bekas istri anak angkat
setelah berpisah darinya, walaupun diharamkan di zaman Jahiliyah. Hal tersebut
dicontohkan oleh Rasulullah sebagai penguat keabsahannya sekaligus sebagai
pemangkas adat Jahiliyah yang mengharamkan hal tersebut. Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
Artinya:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi
orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila
anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah
ketetapan Allah itu pasti terjadi.” [Al-Ahzab : 37]
Nabi menikahi Zainab binti
Jahsy atas perintah Allah setelah suaminya Zaid bin Haritsah menceraikannya.
Keempat,
Dari uraian di atas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan terhadap hukum adopsi
bukan berarti menghilangkan makna kemanusiaan serta hak manusia berupa
persaudaraan, cinta kasih, hubungan sosial, hubungan kebajikan dan semua hal
berkaitan dengan semua perkara yang luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.
Termasuk
dalam hal tersebut mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan anak-anak
yang tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat baik
kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang terlantar dan tak
terurus. Karena ditakutkan umat akan tertimpa akibat buruk dari buruknya
pendidikan serta sikap kasarnya, ketika ia merasakan perlakuan kasar serta
sikap acuh dari masyarakat.
Kewajiban
pemerintah Islam adalah mendirikan panti bagi orang tidak mampu, anak yatim,
anak pungut, anak tidak berkeluarga dan yang senasib dengan itu. Bila keuangan
Baithul Mal tidak mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada orang-orang mampu
dari kalangan masyarakat, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Siapapun
seorang mukmin mati meninggalkan harta pusaka, hendaknya diwariskan kepada ahli
warisnya yang berhak, siapapun mereka. Tetapi jika meninggalkan utang atau
kerugian hendaklah dia mendatangiku, karena aku walinya.” [Hadits Riwayat al-Bukhari]
Inilah
yang disepakati bersama, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah
kepada Nabi Muhammad , keluarga serta sahabatnya. [Komisi Tetap Untuk Fatwa,
Fatawa Islamiyah 4/497].
[1] . Lisanul Arab 9/268-269.
[2] . nihayatul muhtj, 5/444.
[3] . al hiddyah, 3/417 dan
fathu qodir, 4/273.
[4] . al mughni, 5/679, al
muhalla, 8/ 273-274, mughni muhtaj, 2/418, syarh shoghir, milik durdir, 2/326.
[5] . al bada`i`,6/198, al
hidayah, 4/ 118.
[6] . al mughni, 5/692
loading...
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa