SHAHIH AL-BUKHARI
Oleh Ustadz Nur Kholis bin Kurdian حفظه الله
Oleh Ustadz Nur Kholis bin Kurdian حفظه الله
Publication 1434 H/
2013 M
SHAHIH AL-BUKHARI
Sumber: Majalah As-Sunnah, No. 01 Thn. XVI_1433 H_2012 M
SHAHIH AL-BUKHARI
Sumber: Majalah As-Sunnah, No. 01 Thn. XVI_1433 H_2012 M
A. PENDAHULUAN
Hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah salah satu dari dua sumber pokok ajaran
Islam, dan salah satu dari dua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah
صلى الله عليه وسلم. Sebagimana firman Allah عزّوجلّ:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS.
an-Najm/53:3-4)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimn, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah (QS.
al-Hasyr/59:7)
Hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم jika dilihat dari sisi kodifikasinya maka ia telah
dibukukan sejak zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم, akan tetapi masih bersifat personal, adapun
kodifikasi hadits yang bersifat umum dan resmi dengan mendapat perintah dari
seorang khalifah terjadi pada masa Tabiin, tepatnya pada masa Khalifah 'Umar bin
Abdul 'Aziz رحمه الله (w. 101 H). Sedangkan al-Qur'an telah dikodifikasikan secara resmi pada
masa sahabat dengan perintah Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq رضي الله عنه.
Banyak opini yang menyebar dikalangan sebagian publik akademis bahwa
hadits nabi selama satu abad penuh belum ditulis dan masih berupa hafalan yang
ditransfer dari masa ke masa. Opini tersebut mungkin disebabkan perkataan
sebagaian Ulama hadits yang menyatakan bahwa yang pertama kali mengkodifikasi
hadits adalah Ibn Shihab al-Zuhri رحمه الله (w. 124 H) (setelah mendapat perintah dari
Khalifah 'Umar bin Abd al-Aziz). Opini tersebut menyebar kira-kira 5 abad
berturut-turut hingga datang masa Khatib al-Baghdadi yang telah meneliti dan
mengumpulkan data otentik dari fakta-fakta yang ada, sehingga ia dapat
menjelaskan kepada umat bahwa hadits Nabi صلى الله عليه وسلم telah dibukukan sejak abad pertama hijriyah.
Penelitiannya tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul "Taqyid
al-'Ilm ".1
Pada masa Rasulullah hadits nabi صلى الله عليه وسلم telah ditulis, banyak data dan fakta yang
membuktikan hal itu, diantaranya ;
1. Perkataan Abu Hurairah
صلى الله عليه وسلم , "Tidak ada diantara para Sahabat Nabi yang lebih
banyak haditsnya dariku kecuali Abdullah bin Amr karena ia menulis (hadits dari
Rasulullah صلى الله عليه وسلم ) sedangkan aku tidak pernah menulisnya."2
2. Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah memerintakan para Sahabat untuk menuliskan
hadits kepada seorang laki-laki dari negeri Yaman seraya berkata,
"Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.."3
3. Adanya penulisan hadits pada
Suhuf (lembaran-lembaran), seperti;
a. Lembaran Abu Bakar al-Shiddiq
رضي الله عنه yang ada di dalamnya hadits-hadits tentang
zakat.
b. Lembaran Ali bin Abi
Thalib رضي الله عنه
c. Lembaran Abdullah bin Amr bin
Ash رضي الله عنهما. Dan lain sebagainya.4
4. Adanya dorongan untuk menghapal
hadits dan menguatkan hapalan tersebut dengan cara menulis hadits terlebih
dahulu dan menghapalnya. Setelah mereka hapal dan kuat hapalannya maka tulisan
tersebut mereka hapus dengan tujuan agar mereka tidak bergantung dengan tulisan
tersebut.5
5. Adanya surat menyurat antara mereka dalam menyampaikan hadits Nabi صلى الله عليه وسلم.
Misalnya; Jabir bin Samurah رضي الله عنه menulis beberapa hadits dan mengirimkannya kepada
Amir bin Sa'd bin Abi Waqqash رضي الله عنه atas permintaan darinya.6
Kemudian datang generasi Tabi'in, pada priode ini hadits dikodifikasikan
secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin abdul Aziz.7
Al-Zuhri berkata, "Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepadaku untuk
mengumpulkan hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم. Lalu setelah terkumpul aku menulisnya pada
beberapa buku, dan beliau mengirimkannya kepada para pemimpin.8 Pada masa ini pula banyak sahifah (lembaran)
yang telah ditulis memuat hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم, diantaranya:
a. Shahifah Sa'id bin Jubair (w.
95 H) murid Ibn Abbas رضي الله عنه.
b. Shahifah Bashir bin Nuhaik ia
menulis dari Abu Hurairah رضي الله عنه.
c. Shahifah Mujahid bin Jabr
murid Ibnu Abbas رضي الله عنه.9
d. Shahifah Muhammad bin Muslim
bin Tadrus (w. 126 H) murid Jabir bin Abdillah رضي الله عنه. Dan lain sebagainya.10
Kemudian datang generasi Tabiut Tabi'in. Pada masa ini muncullah
mushannafat (buku-buku hadits) yang ditulis oleh para Ulama waktu itu,
seperti kitab (buku-buku) al-Muwattha', Sunan, Musannaf, Jami'11 dan buku-buku Ajza'.12
Pada periode berikutnya yaitu periode Tabi'ul Atba' sekitar abad
ke III H, pada periode ini buku-buku hadits ditulis dan dibukukan dengan
memiliki corak yang berbeda dengan priode sebelumnya,
seperti;
1. Munculnya buku-buku
Musnad, seperti Musnad Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204 H), Musnad
al-Humaidi (w. 219 H), Musnad Ahmad bin Hambal (w. 241 H) dan
lain-lain.
2. Munculnya buku-buku Jawami',
seperti al-Jami' al-Shahih karya Imam al-Bukhari (w. 256 H),
al-Jami' karya Imam al-Tirmidzi (w. 279 H) dan
lain-lain.
3. Munculnya buku-buku Sunan,
seperti al-Sunan karya Imam Abu Dawud (w. 275 H), al-Sunan karya Imam Ibn Majah
(w. 273 H) dan lain-lain.
4. Munculnya buku buku
Mukhtalif al-Hadits, seporti 'ihtilaful hadits karya Imam Syafi'i
رحمه الله (w. 204 H), Ta'wil Mukhtaliful
hadits karya Ibn Qutaibah (w. 276 H), dan lain-lain.13
Penulisan hadits tersebut terus berlangsung dari masa ke masa dengan
corak yang berbeda-beda hingga pada abad ini.
Dari sekilas runtutan sejarah kodifikasi hadits diatas dapat diketahui
posisi Shahih al-Bukhari (al-Jami' al-Shahih) karya Imam al-Bukhari.
Kitab ini termasuk kitab hadits yang ditulis pada abad ke-3
H.
1. Tadwinus Sunnah, Nasy'atuh wa Tathawwuruh, Muhammad bin Matar al-Zahrani, (Madinah; Dar al-Khudairi, 1998), hlm.
74.
2. al-Jami'us Shahih [Shahih Bukhari], Tahqiq Dr. Musthafa Dib al-Bugha, Muhammad bin Isma'il al-Bukhari,
(Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H/1987 M), 1/54.
3. Ibid. 2/857.
4. Tadwinus Sunnah.., al-Zahrani, hlm. 90-91, bittasharruf
yasir.
5. Taqyid al-'Ilm, Ahmad bin 'Ali al-Khatib al-Baghdadi, (t.tp: Dar Ihya' al-Sunnah
al-Nabawiwah, 1978 M), hlm. 58.
6. Lihat al-Musnad, Ahmad bin Hanbal al-Shaibani, 34/421 (Beirut:
Muassasat al-Risalah, 1420 H/1999 M)
7. Tadwinus Sunnah wa Manzilatuha, Abdulmun'im al-Sayyid Najm, (Madinah: al-Jami'ah al-Islamiyyah, 1399
H), hlm. 42
8. Jami' Bayan al-Ilm wa Fadhlihi, Yusuf bin Abdillah Ibn Abdil Barr, 1/331 (Arab Saudi: Dar Ibn
al-Jauzi, 1414 H)
9. Tadwinus Sunnah....., al-Zahrani, hlm. 96.
10. Buhuts fi Tarikh al-Sunnah al-Musharrafah, Akram Dhiya' al-'Umary, (Madinah; Maktabat al-'Ulum wa al-Hikam,
1994), hlm. 230.
11. Buhuts fi Tarikh...,al-'Umary, hlm. 301.
12. Tadwinus Sunnah..., al-Zahrani, hlm. 103.
13. Tadwinus Sunnah... al Zahrani, hlm. 112. Dengan sedikit tambahan dari
penulis.
B. LATAR BELAKANGPENULISAN SHAHIH BUKHARI
Tidak asing lagi bagi siapa saja yang menulis suatu karya ilmiah baik
skripsi, tesis maupun desertasi, maka sudah pasti disana ada yang namanya latar
belakang masalah. Bagian ini mengungkapkan latar belakang dan segala seluk beluk
persoalan yang berkaitan dengan masalah, baik teoritis maupun gejala empiris,
yang rnenjelaskan mengapa masalah itu perlu diteliti atau ditulis. Hal tersebut
merupakan bagian dari metode para Ulama sejak dahulu dalam menulis suatu buku
atau kitab.
Imam al-Bukhari dalam menulis kitabnya al-Jami' al-Shahih
memiliki tiga hal yang melatarbelakangi penulisan buku tersebut,
yaitu:
1. 1.Belum adanya kitab hadits yang khusus memuat hadits-hadits shahih dan
mencakup berbagai bidang dan permasalahan. al-Hafidz Ibn Hajar al-'Asqalani
berkata, "Ketika beliau رحمه الله melihat buku-buku hadits yang ditulis sebelumnva
telah memuat bermacam-macam hadits, ada yang shahih, hasan dan banyak pula yang
dliaif, maka tidak dapat disamakan (atau dijadikan satu) antara hadits dhaif
dengan hadits shahih, oleh sebab itu beliau رحمه الله tertarik untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih
saja.1
2. Ada motivasi dan guru beliau رحمه الله yakni Ishak bin Rahuyah رحمه الله . Ibnu Hajar رحمه الله berkata, "Dan keinginannya tersebut menjadi kuat
setelah ia mendengar gurunya yang termasuk pakar dalam bidang hadits dan fikih
yaitu Ishak bin Rahuyah رحمه الله, ia berkata, 'Andaikata engkau menulis satu buku
hadits yang berisikan hadits-hadits shahih (maka hal itu sangat baik)". Kemudian
Imam Bukhari berkata, "Perkataan tersebut membekas dalam hatiku, kemudian aku
mengumpulkan hadits-hadits shahih dalam kitab tersebut".2
3. Ada motivasi dari mimpi baiknya. Imam Bukhari رحمه الله pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah
صلى الله عليه وسلم . Beliau رحمه الله berkata, "Aku pernah bermimpi bertemu Rasulullah
صلى الله عليه وسلم, aku berdiri dihadapannya dan mengipasinya,
kemudian aku menanyakan mimpi tersebut kepada orang yang ahli menta'bir
mimpi, ia menjawab, "Kamu menolak kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah
صلى الله عليه وسلم. Hal itulah yang menyebabkan aku menulis
al-Jami' al-Shahih (Shahih Bukhari).3
1. Hadyus Sari, Muqaddimah Shahih al-Bukhari, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-'Asqalani,
1/6 (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1379 H),
2. Ibid. Lihat Tadrib al-Rawi Shar Taqrib al-Nawawi, Abdurrahman bin
Abu Bakr al-Suyuthi, 1/92 (Riyadh: Dar Taibah, 1422 H). Lihat Tarikh
Baghdad, Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdadi, 2/326 (Beirut: Dar
al-Gharb al-Islami, 1422 H). Lihat Tarikh Dimasyq, Ali bin al-Hasan
terkenal dengan sebutan Ibn 'Asakir, 52/72 (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H). Lihat
Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat, Yahya bin Syaraf al-Nawawi, 1/74 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th). Lihat Tahdzib al-Kamal, Yusuf bin
Abdurrahman al-Mizzi, 24/442 (Beirut: Muassasa al-Risalah, 1400 H). Lihat
Siyar A'lam al-Nubala', Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, 10/84 (Cairo: Dar
al-Hadits, 1427 H).
3. Hadyus Sari ..,al-Asqalani, 1/7. Lihat Tahdzib al-Asma'..., al-Nawawi, 1/74.
Lihat Tadrib al-Rawi..., al-Suyuthi, 1/92.
C. KRITERIA HADITS SHAHIHMENURUT IMAM BUKHARI
Pada dasarnya kreteria hadits Shahih ada dua
macam.
Pertama, kriteria yang munttafaq alaiha yaitu kreteria yang disepakati
oleh para Ulama, baik Imam al-Bukhari maupun yang lainnya.
Kedua, kriteria yang mukhtalafun fiha yaitu kreteria yang masih
diperselisihkan oleh para Ulama.1 Kriteria
hadits shahih yang munttafaq ada lima macam,
yaitu:
1. Ittishalus Sanad (sanadnya bersambung). Artinya sebuah hadits dapat dimasukkan dalam
kategori shahih jika sanadnya bersambung, yakni setiap perawi benar-benar
meriwayatkanya langsung dari gurunya,2
dan gurunya langsung dari gurunya, demikianlah hingga bersambung kepada
Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
2. 'Adalatur
Ruwah (para perawinya
adil). Maksudnya perawinya harus seorang Muslim, mukallaf, berakal,
baligh, selamat dari kefasikan atau dosa besar dan tidak terus menerus melakukan
dosa-dosa kecil, dan menjaga martabat atau muru'ah.3
Menjaga muru'ah maksudnya menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak
martabat dan menurunkan harga diri seseorang meskipun tidak berdosa secara
syara'.
3. Tamamudh Dhabth. Yaitu super kuat dalam menjaga hafalan dan perawatan naskah. Dhabth
ini ada dua macam, yaitu Dhabthu Shadr, maksudnya adalah kuatnya
hafalan terhadap hadits yang sudah didengarkan dari gurunya, ia ingat terhadap
hapalannya itu kapan saja diperlukan. Dan Dhabtu Kitab, maksudnya
adalah sangat berhati-hati dalam menjaga tulisan hadits yang dipelajari dari
gurunya, setelah ia mentashihnya, baik dengan cara memperdengarkannya kepada
sang guru atau teman seprofesinya, jika ada kesalahan dalam tulisannya, ia
segera membetulkannya. Ia menjaganya sampai ia meriwayatkannya kepada
muridnya.4
4. Ghairu Syadz. Yaitu perawinya tidak bertolak belakang dan bertentangan dengan
periwayatan perawi lain yang semisalnya yang jumlahnya lebih banyak atau lebih
tsiqah darinya.5
5. Ghairu Mu'allal. Hadits shahih harus selamat dari 'illah
qadihah, yaitu suatu cacat yang tersembunyi dibalik hadits yang dapat
merusak keshahihan hadits tersebut, sekalipun secara dhahir tampaknya tidak ada
masalah.6
Adapun kriteria hadits shahih yang mukhtalaf fiha cukup banyak
diantaranya :
- Perawi harus masyhur (terkenal) menurut
al-Hakim.
- Perawi harus lebih dari satu orang menurut
mu'tazilah.
- Perawi harus faqih menurut Imam Abu
Hanifah.
- Pada hadits mu'an'an, Imam Bukhari mensyaratkan bahwa semua
perawi harus bertemu dengan gurunya meskipun satu kali, artinya hadits
mu'an'an tersebut masuk kategori hadits shahih atau muttashil
sanadnya, jika memenuhi kreteria-kreteria hadits shahih yang muttafaq
alaiha ditambah dengan kreteria lain yaitu semua perawinya harus bertemu
dengan gurunya meskipun satu kali, tidak cukup hanya hidup satu masa
(mu'asharah) dan Imkanul Liqa' (memungkinkan bertemu antara
keduanya).
- Dan masih banyak lagi kriteria-kriteria lain yang mukhtalafun
fiha.7
Akan tetapi, kriteria hadits shahih yang mukhtalaf fiha ini sudah
mendapat jawaban dari para Ulama bahwasanya kriteria hadits shahih yang
muttafaq alaiha (disepakati) sudah mewakili kriteria hadits shahih yang
mukhtalaf fiha (diperselisihkan). Adapun kreteria yang disyaratkan oleh
Imam al-Bukhari tersebut menurut mereka bukanlah kriteria hadits yang hanya
mendapatkan label shahih akan tetapi merupakan kriteria hadits yang paling
shahih.8
Mengenai hadits mu'an'an, jumhur Ulama berpendapat bahwasannya
hadits tersebut dapat dikatakan shahih atau muttashil sanadnya, jika
memiliki dua syarat. Pertama; perawi (mu'an'in)9
bukan seorang mudallis.10
Kedua; antara perawi (mu'an'in) dan gurunya (mu'an'an
'anhu) memungkinkan untuk bertemu dan hidup dalam saru masa
(mu'asharah). Adapun Imam al-Bukhari tidak demikian, syarat beliau
رحمه الله lebih ketat dibandingkan syarat jumhur,
sebagaimana yang tersebut di atas beliau mensyaratkan liqa' (bertemu
antara perawi dan gurunya), oleh sebab itu Shahih Bukhari lebih unggul
dibandingkan yang lainnya.11
Kemudian dalam hal perawi, Imam al-Bukhari memilih perawi tingkat
pertama dalam hal ke-dhabithan dan ke-itqanan (kesempurnaan) serta
thulul mulazamah (lamanya belajar hadits kepada gurunya) yakni perawi
yang sangat kuat hafalannya dan sangat lama ber-mulazamah kepada gurunya
(perawi semacam ini beliau jadikan sebagai inti kitabnya). Kemudian beliau
رحمه الله memilih tingkatan dibawahnya dalam hal
itqan dan mulazamah sebagai ittishal dan ta'liq (dan
syawahid serta mutaba'ah). Adapun Imam Muslim رحمه الله, murid Imam al-Bukhari رحمه الله , beliau menjadikan tingkatan kedua ini sebagai
inti kitabnya sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Hazimi.12
Oleh sebab itu Shahih Bukhari secara global lebih unggul dibandingkan Shahih
Muslim.
1. Lihat Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, Abdurrahman bin Abu
Bakr al-Suyuthi, 1/61-69 (Riyadh: Dar Thaibah, 1422 H). Dengan diringkas oleh
penulis.
2. al-Ta'liqat al-Atsariyah ala al-Mandzumah
al-Baiquniyyah, Ali bin Hasan al-Halabi (Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 1428 H), hlm.
21
3. Dhawabth al-Jarh wa al-Ta'dil, Abdul Aziz bin al-abdul Latif (Riyadh: Maktabah al-'Ubaikan, 1426 H),
hlm. 23.
4. Fathul Mughits Syarh Alfiyatil Hadits, Muhammad bin Abdurrahman al-Sakhawi, 1/28 (Mesir: Maktabatus Sunnah,
1424 H). Bittasharruf yasir minal katib.
5. al-Ta'liqat al-Atsariyah ala al-Mandzumah
al-Baiquniyyah, Ali bin Hasan al-Halabi, hlm. 21
6. Ibid. Lihat Taisir Musthalah hadits, Mahmud al-Thahhan (Riyadh:
Maktabah al-Ma'arif, 1417 H), hlm. 99.
7. Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, 1/68-69 (Riyadh: Dar Thaibah,
1422 H). Dengan diringkas oleh penulis.
8. Ibid.
9. Perawi yang menggunakan عن dalam meriwayatkan hadits.
10. Perawi yang melakukan tadlis.
11. Lihat Taisir Musthalah hadits, Mahmud al-Thahhan (Riyadh:
Maktabah al-Ma'arif, 1417 H), hlm. 87.
12. Lihat Syuruth al-Aimmah al-Khamsah, Muhammad bin Musa al-Hazimi
(Beirut: Darul Hijrah, 1408 H), hlm. 57-58. Lihat Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib
al-Nawawi, Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, 1/97 (Riyadh: Dar Thaibah,
1422 H).
D. PENUTUP
Sebagai penutup, Penulis di sini menyebutkan beberapa kesimpulan yang
dapat dipetik dari uraian diatas, antara lain:
1. Shahih al-Bukhari adalah kitab hadits yang pertama kali memuat
hadits-hadits shahih saja, setelah itu muncul Shahih Muslim. Dan keduanya
tersebut merupakan kitab yang paling shahih setelah
al-Qur'an.
2. Shahih al-Bukhari lebih shahih dibandingkan dengan Shahih Muslim, karena
Syarat Imam Bukhari lebih ketat dibandingkan dengan Imam
Muslim.
3. Ketatnya syarat Imam al-Bukhari tampak jelas pada ittishalus
sanad (persambungan sanad) dalam hadits Mu'an'an beliau mensyaratkan
liqa' antara perawi (mu'an'in) dan gurunya (mu'an'an
'anhu), dan terlihat pula dalam memilih perawi hadits ia memilih perawi
peringkat pertama dari sisi dhabth, itqan dan thulul
mulazamah.
4. Syarat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya jika dibandingkan dengan syarat
para penulis kitab Sunan, maka sudah jelas syarat Imam al-Bukhari jauh lebih
ketat, karena ia hanya memasukkan hadits-hadits shahih saja sebagai inti kitab,
berbeda dengan para penulis sunan, mereka memasukkan bermacam-macam hadits dalam
kitab-kitab mereka, ada yang shahih ada yang hasan dan ada pula yang
dhaif maupun dhaif jiddan.[]
loading...
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa