Mengapa Imam al-Bukhari Menulis Kitab
Shahihnya?
Mengenal Sisi Lain Shahih al-Bukhari
Disusun Oleh Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه الله
Mengenal Sisi Lain Shahih al-Bukhari
Disusun Oleh Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه الله
Publication 1434 H/
2013 M
MENGAPA IMAM AL-BUKHARI MENULIS KITAB SHAHIHNYA?
Mengenal Sisi Lain Shahih al-BukhariUstadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Sumber: Majalah As-Sunnah, No. 01 Thn. XVI_1433 H_2012 M
MENGAPA IMAM AL-BUKHARI MENULIS KITAB SHAHIHNYA?
Mengenal Sisi Lain Shahih al-BukhariUstadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Sumber: Majalah As-Sunnah, No. 01 Thn. XVI_1433 H_2012 M
Mengapa Iman Al-Bukhari Menulis Kitab Shahihnya
Mengenal Sisi Lain Shahih al-Bukhari
Disusun oleh
Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat خفظه الله
Imam al-Bukhari رحمه الله menceritakan kepada kita di antara sebab-sebab
beliau menulis kitab Shahihnya:
كُنَّا عِنْدَ إِسْحَاقَ بْنُ رَاهُوَيْه، فَقَالَ: لَوْ جَمَعْتُمْ
كِتَابًا مُخْتَصَرًا لِصَحِيْحِ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى عليه
وسلم
"Kami pernah berada bersama Ishaq bin
Rahuwaih,1 lalu beliau berkata (kepada kami para pelajar
hadits), 'Kalau sekiranya kamu mengumpulkan sebuah kitab yang meringkas khusus
(hadits-hadits) yang Shahih saja dari Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم."
قَالَ: فَوَقَعَ فِيْ قَلْبِي، فَأَخَذْتُ فِيْ جَمْعِ الْجَامِعِ
الصَّحِيْحِ
Imam al-Bukhari mengatakan, "Maka perkataan beliau itu meresap ke dalam
hatiku, lalu aku mulai mengumpulkan (menulis) al Jami’ush
Shahih".
Beliau رحمه الله juga mengatakan:
لَمْ أُخَرِّجْ فِيْ هَذَا الْكِتَابِ إِلاَّ صَحِيْحًا وَمَاتَرَكْتُ
مِنَ الصَّحِيْحِ أَكْثَرُ
Tidak ada satupun hadits yang
aku takhrij dalam kitab ini melainkan yang shahih dan hadits shahih yang aku
tinggalkan (tidak aku masukkan ke dalam kitab ini) masih lebih banyak
lagi".2
1. Beliau Amirul Mu'minin fil
Hadits salah seorang Imam Ahlus Sunnah dan gurunya Imam al-Bukhari dan
Sahabat dekat Imam Ahmad.
2. Hadyus Sari Muqaddimah Fat-hul
Bari' Syarah Shahih Bukharii (hlm. 9) oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar.
PENJELASAN DARI SEBAGIAN
PERKATAAN IMAM AL-BUKHARI
PERKATAAN IMAM AL-BUKHARI
Perkataan beliau, "lalu aku mulai mengumpulkan (menulis) al-Jami’ush
Shahih.
Penjelasan: Beliau telah menamakan kitab Shahihnya dengan nama kitab
al-Jami’, bukan kitab Sunan atau lainnya. Kitab hadits al-Jami’ adalah
sebuah kitab hadits yang mengumpulkan seluruh bab-bab syari'ah seperti
aqidah, ilmu, ahkam, tafsir, tarikh, adab, zuhud, manaqib, fitan, asyratus
sa'ah (tanda-tanda hari Kiamat) dan hari Kiamat. Seperti yang dapat kita
lihat dari puluhan judul kitab dari bab-bab Syari'ah yang ada di al-Jami’
Shahih Bukhari. Demikian juga kitab al-Jami’ Shahih Muslim dan kitab
al-Jami’ at-Tirmidzi. Kedua orang Imam besar ini -Muslim dan
at-Tirmidzi-adalah dua orang murid besar Imam al-Bukhari. Keduanya telah
mengikuti manhaj guru mereka Imam al-Bukhari- dalam menyusun kitab hadits dengan
nama al-Jami'.
Perkataan beliau, "Tidak ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini melainkan
yang shahih."
Maksudnya adalah:
Pertama: hakikat takhrijul hadits ialah meriwayatkan hadits dengan
sanad dari dirinya.
Contohnya seperti Imam al-Bukhari, dia telah meriwayatkan hadits dengan
sanad darinya, dari gurunya dan seterusnya sampai kepada Nabi صلى الله عليه وسلم atau sampai kepada Sahabat A atau sampai kepada
Tabi'in dan seterusnya. Oleh karena itu Imam al-Bukhari dan saudara-saudaranya
sesama perawi hadits dinamakan mukharrij yaitu orang yang
mentakhrij hadits sesuai dengan ta'rif di
atas.
Kedua: Adapun ketika cara yang pertama yang tadi saya terangkan tidak
memungkinkan lagi untuk dilakukan -yaitu meriwayatkan hadits dengan sanad
darinya sendiri- seperti pada zaman kita sekarang ini, bahkan pada zaman-zaman
sebelumnya, disebabkan jarak yang demikian jauhnya, dan hadits telah dicatat dan
dikumpulkan oleh para Imam ahli hadits lengkap dengan sanadnya, maka
takhrijul hadits untuk cara yang kedua ialah meriwayatkan hadits dari
kitab-kitab hadits dengan mengumpulkan sanadnya kemudian menghukumi hadits
tersebut, apakah dia hadits shah atau tidak ?"
Inilah yang dinamakan takhrijul hadits. Oleh karena itu para Imam
ahli hadits yang datang belakangan semuanya menempuh cara yang kedua ini. Adapun
semata-mata meriwayatkan atau mengembalikan hadits kepada asalnya seperti
ungkapan hadits tersebut telah dikeluarkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan
Nasa-i dan lain-lain tanpa menghukumi hadits tersebut shah atau tidaknya, maka
pada hakikatnya itu bukanlah takhrijul hadits.
Dari sini kita mengetahui, bahwa hakikat dari takhrijul hadits adalah
ijtihad bukan taqlid. Yakni ijtihad dari seorang ahlinya
mentahrijnya setelah dia menempuh :
Pertama; Mengumpulkan sanad, memeriksanya, meneliti rawi-rawinya, matannya atau
lafazh-lafazhnya dan seterusnya
yang berkaitan erat dengan status hukum sebuah
hadits.
Kedua; Melihat dan meneliti dengan cermat keputusan para ahli hadits mengenai
status hadits tersebut.
Ketiga: Keputusan darinya, adakalanya dengan menyetujui sebagian ahli hadits
yang menshahihkannya atau mendhaifkannya, dan adakalanya dia menyalahinya.
Sebagai contoh yang mudah untuk saat ini adalah Imam Dzahabi, ketika beliau
mentakhrij hadits-hadits di kitab al Mustadrak karya Imam Hakim.
Adakalanya beliau menyetujui keputusan Imam Hakim terhadap status hukum suatu
hadits, dan adakalanya beliau menyalahinya atau membantahnya. Selanjutnya,
sebagian dari keputusan Dzahabi, juga telah dibantah oleh sebagian Ulama. Dan
begitulah seterusnya yang menunjukkan kepada para pelajar yang rnendalami ilmu
yang mulia ini, bahwa hakikat dari takhrijul hadits adalah sebuah ijtihad dari
seorang yang ahli mentakhrijnya, bukan taqlid.
Maka apabila keputusan status hukum terhadap hadits diserahkan
saja kepada ahlinya seperti dia mengatakan, bahwa hadits tersebut telah
diserahkan oleh Imam fulan atau telah didha'ifkan oleh Imam fulan, maka ini
adalah taqlid bukan hakikat dari takhrijul hadits. Dan dia harus menjelaskannya
dan mengatakannya kepada siapa dia menyerahkan keputusan hukum tersebut supaya
dia jangan dituduh sebagai pencuri.
Tentunya hal yang demikian dibolehkan selama dia menyandarkannya dan
menyerahkannya kepada ahlinya, bukan kepada orang-orang yang jahil atau yang
bukan ahlinya. Dibolehkannya taqlid dalam masalah ini, karena tidak ada
seorangpun juga yang selamat meskipun dia orang yang ahli dalam sebagian
pembahasan ilmiahnya, walaupun tidak menjadi kebiasaannya.
Adapun bagi orang-orang awam, maka seluruh keputusan takhrij diserahkan
kepada ahlinya. Demikian juga bagi para pelajar ilmiah yang tidak mendalami ilmu
yang mulia ini -karena pada setiap ilmu ada orang yang mendalaminya dan ahlinya-
mereka disamakan dengan orang-orang awam dalam bab ini, maka seluruh keputusan
takhrij diserahkan kepada ahlinya.
Sedikit saya panjangkan masalah takhrij ini karena seringkali terjadi
kesalahan ilmiah dari sebagian pelajar khususnya para pemula yang mendalami ilmu
yang mulia ini. Ilmu yang sangat besar ini yang membutuhkan waktu cukup lama
sampai puluhan tahun untuk mempelajarinya dengan kepandaian yang cukup serta
kesabaran yang dalam.
Perkataan beliau, "Tidak ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini melainkan
yang shahih."
Maksudnya: Menurut keputusan beliau, bahwa semua hadits bersanad yang
beliau takhrij dalam kitab shahihnya adalah shahih. Inilah yang disebuat
sebagai al ashlu atau yang asal dari
kitab Shahih al-Bukhari atau al Jami’ush Shahih yang beliau katakan semua
haditsnya shahih.
Tidak termasuk ke dalam al ashlu yang beliau maksudkan dan
syaratkan semua haditsnya shahih, adalah hadits-hadits mu'allaq yang beliau tidak maushulkan dalam
kitab Shahihnya ini. Tetapi adakalanya beliau maushulkan sendiri di kitab-kitab
beliau yang lainnya, atau telah dimaushulkan oleh para Imam ahli hadits di
kitab-kitab mereka seperti oleh Imam Muslim di Shahihnya dan lain-lain
sebagaimana telah saya jelaskan pembahasannya dengan panjang lebar di kitab
Pengantar Ilmu Mushthalahul Hadits. Demikian juga dengan atsar dari para
Sahabat dan Tabi'in dan seterusnya.
Adapun derajat dari hadits-hadits mu'allaq yang beliau رحمه الله tidak maushulkan di kitab Shahihnya ini ada yang
shahih, hasan dan dha'if. Demikian juga dengan atsar. Dan, beliau رحمه الله sendiri telah memberikan isyarat-isyarat ilmiah
dengan lafazh-lafazh jazm dan tamridh sebagai pengantar bagi ahli
ilmu untuk melanjutkan pemeriksaan dan menghukumi derajatnya. Saya kira
-wallahu a'lam- al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله sebagai salah seorang Imam ahli hadits yang
menjadi keajaiban zaman telah mengupas tuntas bab ini dalam muqaddimah dan
syarahnya atas Shahih al-Bukhari yang tak tertandingi sampai hari
ini.
Jika saudara bertanya, "Mengapa dalam kitab Shahih al-Bukhari masih ada
hadits-hadits yang dha'if ?" Jawabannya ialah:
Pertama: Telah ada jawabannya sebelum
ini. Semoga para pembaca yang terhormat dapat membedakannya di antara al
ashlu atau yang asal dari kitab takhrij Shahih al-Bukhari yang beliau
رحمه الله syaratkan semua hadits-haditsnya shahih dengan
yang bukan asal, tetapi hanya sebagai penguat untuk istinbath
(menyimpulkan suatu) hukum dari bab-bab ilmiah yang beliau رحمه الله berikan pada setiap judul kitab dari kitab
Shahihnya.
Kedua: Dan, ini adalah sebuah syubhat yang seringkali dilemparkan oleh
sebagian orang yang berbeda maksud dan tujuannya dalam mensikapi Shahih
al-Bukhari. Biasanya ini muncul dari mereka yang mempunyai tujuan dan maksud
jahat untuk meremehkan dan merendahkan kitab Shahih al-Bukhari serta menafikan
keshahihannya secara mutlak. Mereka mengatakan banyak sekali hadits-hadits
dha'if di kitab Shahih al-Bukhari, bahkan sebagian dari mereka sampai mengatakan
terdapat ratusan hadits maudhu' (palsu) !!?
Perkataan ini selain tidak mempunyai pembuktian ilmiah dari jurusan ilmu
riwayah dan ilmu dirayatul hadits, juga sangat berlebihan sekali
kejahilan dan kebohongannya. Biasanya keluar dari kaum zindiq seperti
Rafidhah (Syi'ah) dan yang semanhaj atau yang terkena syubhat
mereka.
Adapun para Imam yang mengomentari dan mengkritik sebagian kecil dari
hadits dan rawi dalam Shahih al-Bukhari seperti Imam Daruquthni dan lain-lain,
mereka semuanya berjalan di atas manhaj ilmiahnya para ahli hadits dengan ilmu
dan keadilan. Bukan dilandasi kejahilan dan kezhaliman seperti kaum
zindiq rafidhah atau ahli bid'ah dari mu'tazilah dan lain-lain. Dan, kritikan
sebagian Imam ahli hadits seperti Imam Daruquthni رحمه الله terhadap sebagian kecil hadits-hadits di Shahih
al-Bukhari, juga telah dijawab dengan jawaban-jawaban ilmiah oleh para Imam ahli
hadits, di antaranya oleh al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله di muqaddimah Fat-hul
Bari'.
Ketiga: Bahwa kitab Shahih al-Bukhari bukan hanya sebagai kitab hadits riwayah
dan dirayah saja, namun juga sebagai kitab hukum atau fiqih dari semua bab-bab
syariat. Telah sangat dikenal dikalangan para Ulama dan para pelajar ilmiah
khususnya mereka yang berkhidmat kepada kitab ini, bahwa bab-bab ilmiah yang
beliau رحمه الله berikan pada setiap judul kitab dari kitab
Shahihnya adalah merupakan fiqih atau madzhab ilmiah beliau رحمه الله. Karena itu, beliau menyebutkan dalil-dalil dari
luar seperti nash-nash al-Qur'an, hadits-hadits mu'allaq yang beliau tidak
maushulkan di kitab Shahihnya, atsar-atsar ilmiah dari para Sahabat رضي الله عنهم, dan Tabi'in, perkataan ahli tafsir, ahli tarikh
dan ahli bahasa dan seterusnya.
Di antara bab-bab ilmiah itu ialah :
1. Untuk membantah firqah-firqah sesat yang telah tersesat dari manhaj yang
haq, yaitu manhaj dan aqidah kaum Salaf seperti Khawarij, Rafidhah, Murji'ah,
Qadariyyah, Mu'tazilah dan Jahmiyyah. Bahkan sebagiannya telah keluar dari Islam
seperti Rafidhah (Syi'ah) dan Jahmiyyah. Bantahan beliau ini terdapat di
sejumlah kitab atau pada sebagian bab dari kitab Shahih beliau seperti di kitab
Iman dan kitab Tauhid dan lain-lain.
2. Untuk menjelaskan keputusan fiqih atau madzhab (pendapat) yang beliau
pegang. Walaupun untuk itu beliau menyalahi dan berbeda pendapat dengan
keputusan para Imam atau sebagian dari mereka. Tidak mengapa, karena beliau
رحمه الله memang seorang mujtahid mutlak. Beliau
رحمه الله berjalan bersama dalil dari al-Kitab, Sunnah dan
atsar dari para Sahabat رضي الله عنهم dan Tabi'in. Karena itu, sangatlah tidak tepat,
ketika as-Subki dalam kitab Thabaqatnya. memasukkan beliau ke dalam madzhab
asy-Syafi'i رحمه الله! Beliau رحمه الله adalah salah seorang Imam madzhab yang berdiri
sendiri dengan ijtihad-ijtihadnya. Beliau رحمه الله tidak hanya berbeda ijtihad dengan Imam Syafi'i
رحمه الله saja, juga dengan para Imam lainnya dalam sebagian
keputusan beliau. Sungguh sangat menakjubkan saya, ketika beliau رحمه الله dalam banyak bab seringkali menyalahi dan
berbeda ijtihad dengan Imam Abu Hanifah, tetapi dalam sebagian masalah, justru
beliau رحمه الله setuju dengan keputusan hukum Abu Hanifah.
Contohnya dalam masalah zakat, beliau telah membolehkan mengeluarkan zakat
dengan harganya atau diganti dengan harganya seperti dengan barang atau pakaian
dan lain-lain berdalil dengan sebagian hadits dan atsar. Pendapat beliau ini
jelas sekali telah menyalahi pendapat jumhur Ulama sebagaimana telah dijelaskan
oleh al Hafizh dalam Syarahnya.
3. Untuk membantah sebagian pendapat dari sebagian
Imam.
4. Untuk menjelaskan bahwa dalam masalah ini para Ulama telah berselisih
pendapat.
Dan seterusnya dari bab-bab ilmiah dari fiqih atau madzhab Bukhari di
kitab Shahihnya.
Ini ...! Sebagaimana telah kita ketahui dari ketegasan perkataan Imam
al-Bukhari, bahwa semua hadits yang beliau takhrij di kitab Shahihnya ini -yakni
al ashlu- adalah shahih. Inilah yang asal dari kitab Shahih beliau sebagaimana
telah dijelaskan di depan. Karena itu beliau menamakan kitabnya ini dengan
nama:3
الْجَامِعُ الصَّحِيْحُ الْمُسْنَدُ مِنْ حَدِيْثِ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُنَنِهِ وَأَيَّامِهِ
Dari sini memungkinkan bagi kita untuk mengatakan, siapa saja yang
mendhaifkan hadits di Shahih al-Bukhari -yakni al ashlu-, baik dari jurusan
kelemahan rawinya atau terputusnya sanad, maka orang pertama yang harus dia
hadapi adalah Imam al-Bukhari sendiri. Maka, mereka rnendha'ifkan harus
menjelaskan sebabnya atau al jarhul mufassar (celaan yang dijelaskan
sebabnya)4. Karena Imam al-Bukhari telah menegakkan hujjah akan
keshahihannya dengan persyaratan beliau yang sangat ketat sekali, yaitu:5
3. Hadyus Sari (hlm.
10).
4. Hadyus Sari (hlm.
364-366 dan 403-404).
5. Hadyus Sari (hlm.
11-15).
Syarat pertama: Rawi tersebut haruslah tsiqah. Berbicara tentang rawi-rawi al-Bukhari
di kitab Shahihnya sangat luas sekali yang dapat saya ringkas sebagai
berikut:
Pertama: Imam al-Bukhari telah memakai di kitab Shahihnya ini dari rawi-rawi
yang tsiqah dalam 'adalahnya dan kedhabitannya dan sedikit sekali
kesalahannya. Maka rawi yang seperti ini walaupun dia menyendiri
(tafarrud) dalam meriwayatkan hadits, Imam al-Bukhari tetap
memakainya disebabkan ketsiqahannya. Inilah yang menjadi syarat al-Bukhari dan
juga syarat Muslim.
Kedua: Rawi-rawi yang martabat ketsiqahannya di bawah yang pertama yang tidak
mempunyai kekuatan kalau berdiri sendiri, maka kebiasaan Imam al-Bukhari
terhadap rawi yang seperti ini, beliau selalu mengiringi riwayatnya dengan rawi
yang lainnya untuk menguatkannya.
Ketiga: Apabila seorang Imam banyak sekali rawi yang meriwayatkan hadits
darinya dan mereka berthabaqah (bertingkat-tingkatan) seperti al Imam
az-Zuhri رحمه الله sampai lima (5) thabaqah rawi yang meriwayatkan
hadits darinya, maka syarat Imam al-Bukhari adalah memilih thabaqah yang pertama
dari murid-murid az-Zuhri رحمه الله seperti Malik bin Anas رحمه الله , Sufyan bin 'Uyainah dan lain-lain. Karena mereka
sangat tsiqah dalam 'adalahnya dan kedhabithannya dalam meriwayatkan
hadits-hadits az-Zuhri dibandingkan dengan thabaqah kedua dan ketiga apalagi
keempat dan kelima. Selain itu, mereka juga sangat dekat sekali dengan az-Zuhri
dalam persahabatan dan pertemanan yang cukup lama, yakni mereka
bermulazamah, sampai ada di antara mereka yang menemani az-Zuhri baik
dalam safar maupun muqim, sehingga mereka sangat paham betul dan hapal (al
hifz) serta mutqin (kokoh dan kuat) akan hadits-hadits
az-Zuhri.
Adapun thabaqah yang kedua walaupun mereka se-tsiqah yang
pertama, tetapi tetap saja mereka tidak semahir thabaqah yang pertama dalam
hifz, itqan dan lamanya bermulazamah dengan az-Zuhri. Thabaqah yang kedua inilah
yang menjadi syarat Muslim di kitab Shahihnya seperti al-Auza'i dan Laits bin
Sa'ad dan lain-lain. Kadang-kadang Imam al-Bukhari meriwayatkan juga
hadits-hadits az-Zuhri dari thabaqah yang kedua ini, tapi tidak lengkap dan
kebanyakan mu 'allaq. Demikian juga thabaqah ketiga sedikit sekali dan juga
mu'allaq.
Adapun Imam Muslim telah meriwayatkan hadits-hadits az-Zuhri dari
thabaqah pertama dan kedua secara lengkap dan menyeluruh dan menjadi syaratnya.
Kemudian thabaqah ketiga seperti Imam al-Bukhari pada thabaqah kedua. Demikian
juga dapat diqiyaskan dengan para Imam ahli hadits lainnya seperti Sa'id
bin Musayyab, al A'raj, al Amasy, Nafi', Qatadah, Syu'bah dan lain-lain yang
mempunyai murid-murid yang banyak sekali sehingga mereka berthabaqah. Imam
al-Bukhari senantiasa memilih thabaqah yang pertama yang menjadi syaratnya
khususnya di kitab Shahihnya.
Inilah salah satu kelebihan dan keutamaan Shahih al-Bukhari dari Shahih
Muslim dari jurusan pemilihan terhadap rawi-rawi hadits di kitab Shahih keduanya
sebagaimana telah dikatakan para Imam ahli
hadits.
Syarat kedua: Adanya ketetapan atau kepastian bahwa rawi tersebut bertemu dengan
syaikhnya dan ada ketegasan bahwa dia mendengar dari Syaikhnya atau sharraha
bit tahdits, misalnya dia mengatakan :
حَدَّثَنِيْ – حَدَّثَنَ أَوْ أَحْبَرَنِي – أَحْبَرَنَا أَوْ
سَمِعْتُ - سَمِعْنَا
Aku atau kami diberitahu; aku atau kami mendengar
Dan lafazh-lafazh lain yang menunjukkan bahwa dia memang benar-benar
mendengar dari Syaikhnya itu walaupun hanya sekali, sudah cukup bagi al-Bukhari
untuk membuktikannya. Kemudian setelah itu dia mempergunakan lafazh
'an'anah (عَنْ فُلاَن) dari Syaikhnya, tidaklah mengapa bagi al-Bukhari,
karena telah terbukti bahwa dia bertemu dan mendengar dari Syaikhnya. Tetapi
apabila tidak ada kepastian dan ketegasan seperti yang telah saya jelaskan tadi,
misalnya rawi itu hanya mempergunakan lafazh 'an'anah saja -walaupun rawi itu
bukan seorang mudallis- maka menurut madzhab Bukhari sanad itu tidak
ittishal (bersambung)6. Itulah madzhab Imam al-Bukhari yang beliau
رحمه الله nyatakan di kitab Tarikhnya dan di kitab
Shahihnya. Sampai-sampai beliau mentakhrij sebagian hadits di kitab Shahihnya
yang tidak berkaitan dengan judul bab yang beliau رحمه الله berikan hanya untuk menjelaskan bahwa rawi itu
benar-benar telah mendengar dari Syaikhnya, karena sebelumnva rawi itu di tempat
yang lain di kitab Shahihnya mempergunakan lafazh 'an'anah, maka sekarang beliau
menjelaskannya sehingga Nampak jelas bahwa isnadnya
muttashil.
Adapun Imam Muslim, beliau tidak menjadikan syarat yang kedua Imam
al-Bukhari ini sebagai sebuah syarat di kitab Shahihnya. Madzhab Muslim
رحمه الله , sebagaimana beliau رحمه الله jelaskan sendiri di muqaddimah Shahihnya dengan
penjelasan panjang lebar dalam bantahan yang sangat keras kepada sebagian Imam
yang menyalahinya, bahwa seorang rawi apabila sezaman dengan Syaikhnya maka
riwayat 'an'anahnya menunjukkan muttashil, walaupun belum ada kepastian bahwa
keduanya bertemu, kecuali kalau rawi itu seorang mudallis, maka riwayat
'an'anahnya tertolak sampai dia sharraha bit tahdits (dengan tegas
meriwayatkan dengan kalimat misalnya, aku atau kami
diberitahu)
Sekali lagi kita dapatkan tafdhil (kelebihan dan keutamaan)
Shahih al-Bukhari dari Shahih Muslim dari jurusan ittishal atau bersambungnya
sanad. Karena syarat Imam al-Bukhari lebih kuat, lebih kokoh dan lebih nyata
ittishalnya dari Imam Muslim yang tidak mensyaratkannya. Meskipun demikian,
madzhab Muslim رحمه الله yang juga menjadi madzhabnya jumhur Ulama wajib di
terima. Yaitu riwayat 'an'anah dari rawi yang tsiqah yang tidak disifatkan
dengan tadlis dihukumi ittishal. Tetapi jumhur juga mengatakan, bahwa syarat
Imam al-Bukhari lebih unggul dari syarat Imam Muslim. Dari sini kita mengetahui,
betapa Imam al-Bukhari telah menempuh jalan-jalan yang sangat sulit dan sempit
sekali khususnya di kitab Shahihnya dalam rangka membela Sunnah Nabi yang mulia
صلى الله عليه وسلم.
Tafdhil (kelebihan dan keutamaan) Shahih al-Bukhari dari Shahih Muslim
yang lain lagi adalah bahwa para rawi dan hadits yang dikritik atau didha'ifkan
oleh sebagian Imam ahli hadits yang terdapat di kitab Shahih al-Bukhari
jumlahnya lebih sedikit dari yang ada dalam kitab Shahih Muslim. Tentu yang
jumlahnya sedikit lebih utama dari yang banyak.
Tafdhil (kelebihan dan keutamaan) yang lain lagi yaitu Imam al-Bukhari
lebih alim dari Imam Muslim dalam ilmu yang mulia ini khususnya atas persaksian
Muslim sendiri selain kesepakatan para Ulama. Imam Muslim adalah murid Imam
al-Bukhari dan keluaran (madrasah)nya, karena itu Imam Muslim senantiasa
mengambil faedah dari Imam al-Bukhari dan mengikuti jejaknya.7
Setelah Imam al-Bukhari menjawab pertanyaannya tentang illah (penyakit)
sebuah hadits, Imam Muslim mengatakan:
لاَ يُبْغِضُكَ إِلاَّ حَاسِدٌ، وَأَسْهَدُ أَنَّهُ لَيْسَ فِي
الدُّنْيَا مِثْلُكَ
Tidak ada yang membencimu kecuali orang yang hasad, dan aku bersaksi
sesungguhnya tidak ada di dunia ini orang yang sepertimu.
Dalam riwayat lain, Imam Muslim
mengatakan, "Wahai ustadznya para ustadz, dan sayyidnya para muhadditsiin,
dan thabib (dokter)nya hadits pada penyakit-penyakitnya... ".8
Karena itu para Ulama telah sepakat bahwa kitab Shahih al-Bukhari lebih
Shahih dan lebih utama dari kitab Shahih Muslim. Kesepakatan mereka telah
diterangkan oleh para Imam ahli hadits seperti Ibnu Shalah di kitabnya
'Ulumul Hadits, dan an-Nawawi di kitab Taqribnya atau
Mukhtasharnya atas kitab Ibnu Shalah tadi, yang kemudian disyarahkan oleh
Suyuthi di kitab Tadribnya, dan al-Hafizh Ibnu Hajar di Muqaddimahnya, dan di
kitabnya Syarah Nukhbah dan di kitabnya an-Nukat 'ala Kitabi Ibni
Shalah.
Ketika Shahih al-Bukhari lebih Shahih dan lebih utama dari Shahih
Muslim, maka dengan sendirinya Shahih al-Bukhari menjadi se-shahih-shahih kitab
hadits dan se-shahih-shahih kitab sesudah Kitabullah. Kemudian sesudah Shahih
al-Bukhari adalah Shahih Muslim. Maka kedua kitab Shahih ini -al-Bukhari dan
Muslim- adalah se-shahih-shahih kitab sesudah Kitabullah.
Oleh karena itu derajat hadits yang tertinggi ialah yang disepakati oleh
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, dari jalan Sahabat yang sama, dengan lafazh
yang sama atau terdapat perbedaan di dalam susunannya, tetapi dengan makna yang
sama, dan pada sebagiannya adakalanya terdapat beberapa tambahan lafazh.9
6. Hadyus Sari (hlm.
13-14)
7. An-Nukat (hal: 64) dan
Syarah Nukhbah oleh al-Hafizh Ibnu Hajar.
8. Hadyus Sari (hlm.
513).
9. Al-Fath di akhir kitab
llmu.
Kemudian ada beberapa hal sangat penting yang perlu diketahui oleh para
pembaca yang terhormat:
Pertama: Perkataan Ulama bahwa kedua kitab Shahih -Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim- adalah se-shahih-shahih kitab hadits dan se-shahih-shahih kitab sesudah
al-Qur'an, tidaklah berarti sama sekali tidak ada kesalahannya, misalnya dari
kelemahan hadits disebabkan rawinya atau sanadnya atau kesalahan pada lafazhnya
atau kewahaman rawi dan lain sebagainya dari penyakit-penyakit hadits. Tidak
begitu ! Karena tidak ada satupun kitab yang selamat dari kesalahan kecuali
Kitabullah, dan tidak ada yang ma'shum kecuali Nabi yang mulia صلى الله عليه وسلم. Telah terbukti secara ilmiah, bahwa sebagian Imam
ahli hadits telah mengomentarinya, mengkritiknya dan melemahkannya seperti al
Imam Daruquthniy amirul mu'minin fil hadits dan
lain-lain.
Kedua: Tidak semua yang dikritik atau dilemahkan oleh sebagian Imam seperti
Daruquthni dan lain-lain benar adanya dan diterima secara mutlak oleh para Imam
ahli hadits! Bahkan semuanya telah terjawab dengan jawaban-jawaban ilmiah oleh
para Imam ahli hadits, di antaranya al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله di Muqaddimahnya dan di Syarahnya. Ini menunjukkan
ketinggian dan kebesaran kedua kitab Shahih khususnya Shahih
al-Bukhari.
Ketiga: Bahwa sejak awal kemunculan kitab Shahih al-Bukhari pada masa hidup
penulisnya, dia telah di uji dengan ujian yang sangat berat sekali oleh para
Imam ahli hadits. Dan, tidak ada ujian yang lebih berat bagi Imam al-Bukhari dan
kitab Shahihnya selain datang dari para Imam dan pembesar ahli hadits dari
guru-guru besar beliau seperti Imam Ahmad bin Hambal dan lain-lain banyak
sekali.
Telah berkata Abu Ja'far Mahmud bin Amr al 'Uqailiy, "Ketika Imam
al-Bukhari telah selesai mengarang kitab Shahihnya, beliau menghadapkannya
kepada Ali bin Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma'in, dan yang selain
mereka, maka mereka semua menilainya bagus dan memberikan kesaksian akan keshahihannya, kecuali
empat buah hadits".
Al 'Uqailiy رحمه الله melanjutkan, "Pendapat yang benar adalah pendapat Imam al-Bukhari, empat
buah hadits itu shahih".10
Maka tidak ada pujian yang lebih besar kepada Imam al-Bukhari dan kitab
Shahihnya selain datang dari para Imam dan pembesar ahli hadits dari guru-guru
besar beliau seperti Ali bin Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma'in dan
lain-lain Imam banyak sekali.
Imam al-Bukhari pernah mengatakan tentang Ali bin Madini -guru besar
beliau- , "Aku tidak pernah merendahkan diriku di sisi seorangpun juga kecuali
di sisi Ali bin Madini."
Ketika perkataan Imam al-Bukhari ini disampaikan orang kepada Ali bin
Madini, maka beliau رحمه الله mengatakan, "Tinggalkanlah perkataannya (yang
telah memujiku)! Dia sendiri tidak pernah melihat orang yang seperti
dirinya!"11
Kemudian dari guru beliau yang lain lagi. Imam al-Bukhari mengatakan,
"Sahabat-Sahabat (murid-murid) 'Amr bin Ali al Fallas pernah menanyakan kepadaku
tentang sebuah hadits, maka aku jawab, "Aku tidak tahu." Mendengar jawaban ini,
merekapun merasa senang sekali. Kemudian mereka mendatangi Amr bin Ali sambil
mengatakan, "Kami bermudzakarah (berdiskusi) dengan Muhammad bin Ismail
(Imam al-Bukhari) tentang sebuah hadits, maka dia tidak
mengetahuinya."
Lalu 'Amr bin Ali mengatakan, "Hadits yang tidak diketahui oleh Muhammad
bin Ismail bukanlah hadits."12
Dan lain-lain banyak sekali pujian dan pengakuan yang benar dari
guru-guru beliau pada ilmu dan kitab Shahihnya, maka yang di bawah mereka dalam
ilmu dan zaman tentu min babil aula.[]
10. Hadyus Sari (hlm. 9 dan
514)
11. Hadyus Sari (hlm.
506-507).
12. Hadyus Sari (hal:
508).
loading...
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa