![]() |
Getty Images |
Agama Islam Adalah Nasehat
Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah
bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya tiga kali),
Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah,
kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin umumnya.”
Nasehat bagi Allah”
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak
mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk
penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan
segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan,
mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya,
bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci
orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya,
mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan,
mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas,
serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat
tersebut.
Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah (penyandaran)
nasehat kepada Allah –sebenarnya- kembali kepada hamba itu sendiri, karena
Allah tidak membutuhkan nasehat manusia”. (Syarah Shahih Muslim (II/33), dan
lihat I’lamul-Hadits (I/191)).
“Nasehat bagi Kitab Allah”.
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah
(wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit
pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun yang sanggup
membuat yang serupa dengannya. Mengagungkannya, membacanya dengan
sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’,
dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil)
orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya.
Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu dan
perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah
(pelajaran) dari peringatan-peringatannya.
Memikirkan hal-hal yang menakjubkan di dalamnya.
Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas) disertai dengan sikap taslim
(menerima sepenuh hati) ayat-ayat yang mutasyabih (yang sulit) – yakni bahwa
semuanya dari Allah-. Meneliti mana yang umum (maknanya) dan mana yang khusus,
mana yang nasikh (yang menghapus hukum yang lain) dan mana yang mansukh (yang
dihapus hukumnya). Menyebarkan (mengajarkan) ilmu-ilmunya dan menyeru manusia
untuk berpedoman dengannya, dan seterusnya yang bisa dimasukkan dalam makna
nasehat bagi Kitabullah (Syarh Shahih Muslim (II/33), dan lihat juga
I’lamul-Hadits (I/191-192)).
“Nasehat bagi Rasulullah”.
Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani segala
yang beliau bawa, mentaati perintah dan larangan beliau, membela dan membantu
(perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat, membenci
orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi orang-orang yang loyal kepada
beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan
sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan syariat beliau, dengan membendung
segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut, mengambil ilmu dari sunnah
beliau dengan memahami makna-maknanya, menyeru manusia untuk berpegang
dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkannya, mengagungkan dan
memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak
menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang dan
mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai
ahli bait dan para sahabat beliau, tidak mengadakan bid‘ah terhadap sunnah
beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan makna-makna
lain yang semisalnya (Syarah Shahih Muslim (2/33), dan lihat juga I’lam
al-Hadits (1/192)).
“Nasehat bagi para imam/pemimpin kaum muslimin”.
Artinya, membantu dan mentaati mereka di atas
kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri di atas
kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika
lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui,
tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar mentaati
mereka.
Imam al-Khaththabi menambahkan, “Dan termasuk dalam
makna nasehat bagi mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad bersama
mereka, menyerahkan shadaqah-shadaqah kepada mereka, tidak memberontak dan
mengangkat pedang (senjata) terhadap mereka –baik ketika mereka berlaku zhalim
maupun adil-, tidak terpedaya dengan pujian dusta terhadap mereka, dan
mendoakan kebaikan untuk mereka. Semua itu dilakukan bila yang dimaksud dengan
para imam adalah para khalifah atau para penguasa yang menangani urusan kaum
muslimin, dan inilah yang masyhur”. Lalu beliau melanjutkan, “Dan bisa juga
ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan para imam adalah para ulama, dan nasehat
bagi mereka berarti menerima periwayatan mereka, mengikuti ketetapan hukum
mereka (tentu selama mengikuti dalil), serta berbaik sangka (husnu zh-zhan)
kepada mereka”. (Syarah Shahih Muslim (2/33-34), I’lam al-Hadits (1/192-193)).
“Nasehat bagi kaum muslimin umumnya”.
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia
dan akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama
yang belum mereka ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan
perkataan maupun perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala
bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka,
memerintahkan mereka melakukan perkara yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat
mungkar dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Mengasihi mereka, menghormati
yang tua dan menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi
peringatan yang baik (mau‘izhah hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri)
kepada mereka, mencintai kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk
mereka sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan
hak-hak mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan,
menganjurkan mereka untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas,
mendorong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan sebagainya (Syarh Shahih
Muslim (II/34), I’lamul-Hadits (I/193)).
Keutamaan Orang yang Memberi Nasehat
Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang
bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah
mengabarkan perkataan nabi-Nya, Hud, ketika menasehati kaumnya, “Aku
menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian dan aku ini hanyalah pemberi
nasehat yang terpercaya bagimu” (Q.S. Al-A‘raf: 68).
Allah juga menyebutkan perkataan nabi-Nya, Shalih,
kepada kaumnya setelah Allah menimpakan bencana kepada mereka, “Maka Shalih
berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat
Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai
orang-orang yang memberi nasehat’” (Q.S. Al-A‘raf: 79).
Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan manakala
dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul. Nasehat
merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi, maka
barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta langit
dan bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini (Qawaid wa
Fawaid (hal. 94-95)).
Hukum Nasehat
Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal,
“(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada
(sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut
Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan
(masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima
dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya
(yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya
(yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu
a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).
loading...
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa