ALAT PETUNJUK ARAH kIBLAT
Para ulama berselisih tentang hukum mempelajari tanda-tanda kiblat
antara sunnah dan wajib. Al-’Allamah al-Banuri menjelaskan masalah ini secara
panjang lebar lalu menyimpulkan: “Dari uraian di atas dapat kita simpulkan
beberapa masalah :
Pertama: Tanda-tanda arsitektur dapat dijadikan pedoman untuk mengetahui arah
qiblat, waktu sholat dan sebagainya tetapi tidak bersifat
wajib.
Kedua: Barangsiapa yang mampu mengggunakan tanda-tanda tersebut maka hendaknya
dia berpedoman dengannya dan lebih mendahulukannya dari tanda-tanda kiblat
lainnya, karena dia menunjukkan tanda yang pasti atau prasangka yang
kuat.
Ketiga: Barangsiapa meninggalkan tanda-tanda tersebut padahal dia mampu,
kemudian lebih memilih cara-cara lainnya untuk mengetahui arah kiblat dan waktu
sholat maka hukumnya boleh dan sah sholatnya karena syari’at tidak membatasinya
itu saja sebagai keluasan bagi mereka”.1
Tentang alat petunjuk arah kiblat modern secara khusus telah dibahas
oleh para ulama. Dalam kitab Bughyatul Arib hlm. 93 dikatakan:
“Perhatian: Barangsiapa yang memiliki jam untuk mengetahui waktu sholat atau
alat petunjuk arah qiblat, yang di India di sebut dengan Qutub Nama, atau
Kiblat Nama, sedangkan di Arab disebut dengan Bait Ibroh, maka itu
sudah mencukupi untuk mengetahui arah kiblat dan waktu sholat. Apabila alat-alat
tersebut terbukti benar atau prasangka kuat kebanyakannya benar (karena prasangka kuat bisa digunakan
dalam syari’at) sekalipun saya belum mendapati ada yang menegaskan hal itu.
Benar, kaidah-kaidah fiqih tidak mendukung hal ini, akan tetapi hal ini telah
berjalan secara adat dan kaum muslimin menggunakannya tanpa ada pengingkaran
para ulama.”
Hal ini ditegaskan sebelumnya oleh ar-Romli
-semoga Allah merahmatinya-, salah seorang ulama madzhab Syafi’iyyah, beliau mengatakan:
“Diperbolehkan berpedoman pada baitul ibroh (alat petunjuk) tentang
masuknya waktu sholat dan arah qiblat, karena keduanya menunjukkan prasangka
kuat sebagaimana ijtihad.”2
Ibnu Badron, salah seorang ulama madzhab Hanabilah, berkata: “Adapun
baitul ibroh (alat petunjuk arah qiblat) yang disebut dengan Kiblat
Nama maka boleh dijadikan pedoman kalau sering benarnya.”3
Beliau juga mengatakan4
tatkala membahas masalah telegram: “Masalah ini persis dengan masalah-masalah
lainnya yang biasa dijadikan oleh manusia dalam ibadah seperti alat penunjuk
arah kiblat yang bila engkau letakkan maka dia akan menunjukkan ke arah qiblat.
Nah, stelah diuji coba dan ternyata banyak benarnya maka itu termasuk
tanda-tanda yang disebutkan ahli fiqih dalam kitab-kitab mereka. Dalilnya adalah
penelitian dan percobaan dan ternyata jarang salahnya, sehingga bisa digunakan
sebagai pedoman.”5
Syaikh Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih berkata: “Para ahli fiqih
bersepakat tentang bolehnya berpedoman pada alat petunjuk arah qiblat.6
Hal ini telah ada pada zaman kita sekarang yakni sebuah alat elektronik yang
menunjukkan arah utara dan barat secara akurat dan tidak terganggu dengan
pengaruh-pengaruh alam seperti halnya alat kuno. Adapun alat elektronik modern
ini, dia sangat canggih dalam menunjukkan arah barat dan timur secara tepat.
Jika memang demikian maka dia menunjukkan prasangka yang kuat yang dapat
dianggap dalam masalah ibadah”.7
1. Bughyatul Arib hlm 90-93
2. Nihayatul Muhtaj 1/443
3. Ta’liq Akhshor Mukhtashorot hlm. 22
4. al-Uqud al-Yaqutiyyah hlm. 268
5. Diringkas dari Fiqih Nawazil 1/228-237 oleh Syaikh Bakr Abu
Zaid
6. Diantara para ulama tersebut adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan
anggota Lajnah Daimah, sebagaimana dalam Fatawa Lajnah Daimah 6/315 dan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin sebagaimana dalam Fatawa Ibnu
Utsaimin 1/565.
7. Fiqih Nawazil Fil Ibadat hlm. 47-
loading...
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa